Kecemasan
adalah kondisi yang umum dihadapi oleh siapa saja saat akan menghadapi sesuatu
yang penting, termasuk juga para atlet. Rasa cemas muncul karena ada
bayangan-bayangan yang salah berkaitan dengan pertandingan yang akan dihadapi.
Gambaran tentang musuh yang lebih kuat, tentang kondisi fisik yang tidak cukup
bagus, even yang sangat besar atau semua orang menaruh harapan yang berlebihan
bisa mengakibatkan adanya kecemasan yang berlebihan.
Kecemasan tidak selalu merugikan, karena pada dasarnya rasa cemas berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap diri untuk tetap waspada terhadap apa yang akan terjadi. Namun, jika level kecemasan sudah tidak terkontrol sehingga telah mengganggu aktivitas tubuh, maka hal itu jelas akan sangat mengganggu.
Secara sederhana kecemasan atau dalam bahasa psikologi biasa disebut dengan anxiety didefinisikan sebagai aktivasi dan peningkatan kondisi emosi (Bird, 1986). Peningkatan dan aktivasi ini didahului oleh sebuah kekhawatiran dan kegelisahan atas apa yang akan terjadi. Dalam konteks pertandingan, tentu saja berkaitan dengan lawan dan harapan-harapan baik yang berasal dari diri sendiri maupun orang lain.
Kecemasan tidak selalu merugikan, karena pada dasarnya rasa cemas berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap diri untuk tetap waspada terhadap apa yang akan terjadi. Namun, jika level kecemasan sudah tidak terkontrol sehingga telah mengganggu aktivitas tubuh, maka hal itu jelas akan sangat mengganggu.
Secara sederhana kecemasan atau dalam bahasa psikologi biasa disebut dengan anxiety didefinisikan sebagai aktivasi dan peningkatan kondisi emosi (Bird, 1986). Peningkatan dan aktivasi ini didahului oleh sebuah kekhawatiran dan kegelisahan atas apa yang akan terjadi. Dalam konteks pertandingan, tentu saja berkaitan dengan lawan dan harapan-harapan baik yang berasal dari diri sendiri maupun orang lain.
Secara
umum, ada tiga istilah yang penggunaannya mirip satu sama lainnya, yakni
Arousal, Anxiety (kecemasan), dan Stress. Ketiga hal tersebut tidak jarang
saling tumpang tindih. Sebelum membahas tentang kecemasan lebih lanjut,
terlebih dahulu kita bahas definisi dari ketiga istilah tersebut.
Arousal
adalah aktivasi fisiologi dan psikologi secara umum yang bervariasi dari tidur
nyenyak sampai kesenggangan yang sangat intens (Gould & Krane, 1992 dalam
Jarvis, 1999). Pada saat seseorang dalam kondisi tidur, atau melamun atau
sedang bersantai, maka orang tersebut bisa dikatakan sedang berada dalam
kondisi arousal yang rendah, sedangkan ketika seseorang sedang menonton film
komedi yang sangat lucu, atau marah atau sedih, maka dia dikatakan sedang dalam
kondisi arousal yang tinggi.
Anxiety
(kecemasan) adalah kondisi emosi negatif ditandai perasaan gugup, kuatir dan
takut dan diikuti oleh aktivasi atau arousal dalam tubuh (Weinberg & Gould,
1995 dalam Jarvis, 1999). Bisa dikatakan bahwa kecemasan adalah arousal yang
tidak nyaman. Cemas adalah kombinasi antara intensitas perilaku dan arah dari
emosi yang lebih bersifat negatif (Bird, 1986).
Setiap orang pasti pernah
mengalami perasaan takut, gelisah, tegang, dan cemas dalam menghadapi sesuatu.
Perasaan yang muncul pada diri seseorang dalam menghadapi apa yang ingin
dicapainya adalah wajar, karena untuk mencapai sebuah keberhasilan terkadang selalu
diikuti dengan gejolak psikologis
tersebut.
Kecemasan juga terjadi dalam dunia olahraga manakala
seorang atlit akan menghadapi sebuah pertandingan/kejuaraan, kecemasan pada
setiap atlit memiliki tingkatan dan waktu yang berbeda-beda.
Kecemasan yang terjadi pada
diri atlit bukanlah sesuatu hal yang aneh, sebab atlit yang sudah mempersiapkan
diri untuk bertanding dengan baikpun untuk menghadapi pertandingan bisa
mendadak mengalami gangguan fisiologis dan gangguan psikologis, sehingga
pertandingan yang sudah direncanakan tidak bisa diikutinya dengan baik.
Kecemasan merupakan reaksi
situsional terhadap berbagai rangsang stress, apabila ketegangan-ketegangan
yang dimiliki atlit berlebihan dan melebihi batas normal atau ambang batas
stress seorang atlit akan mengalami kecemasan.
Kecemasan menjelang
pertandingan akan muncul pada diri atlit, dan akan mempengaruhi penampilan
atlit, kecemasan tak selamanya berkonotasi negatif, perasaan cemas dalam
batas-bataa tertentu tetap diperlukan oleh atlit untuk tetap tampil dengan
baik, yang terpenting adalah tingkat kecemasan yang tetap terkontrol tanpa
dihilangkan sama sekali.
Pada umumnya atlit yang
mengalami kecemasan ditandai dengan gejala-geala yang biasanya diikuti dengan
ketegangan atau stres pada diri seseorang, indikator yang dapat dijadikan atlit
mengalami kecemasan dapat dilihat dari perubahan secara fisik maupun secara
psikis.
Gejala yang nampak pada
fisik yaitu seperti peningkatan adrenalin yaitu meningkatnya denyut nadi,
meningkatnya keringat, kulit terasa dingin, sakit perut, nafas cepat, otot
tegang, mulut kering, dan ada keinginan untuk terus buang air kecil.
Gejala secara psikis yaitu
seperti cemas/khawatir, bingung atau tidak mampu konsentrasi atau sulit dalam
membuat keputusan, berpikir aneh, pikiran diluar kendali atau mudah gembira
yang meluap-luap. Gejala yang nampak pada atlit yang mengalami kecemasan; 1)
gejala fisik; a) adanya perubahan yang dramatis pada tingkah laku, gelisah atau
tidak tenang dan sulit tidur, (b) terjadinya peregangan otot-otot pundak,
leher, perut, terlebih lagi pada otot-otot extremitas, (c) terjadinya perubahan
irama pernafasan, (d) terjadi kontraksi otot setempat, pada dagu, sekitar mata,
dan rahang. 2). Gejala psikis; (a) gangguan pada perhatian dan konsentrasi, (b)
perubahan emosi, (c) menurunnya rasa percaya diri, (d) timbulnya obsesi, (e)
tidak ada motivasi (Singgih, 1989).
Selain itu, beberapa atlit
mengalami kecemasan dapat dilihat dariperubahan raut muka misalnya
menyeringai,dahi berkerut, terlihat serius, atlit mengatup geraham lebih keras,
bahkan menggerak-gerakan tubuh seperti kaki dan tangan yang dapat
memperlihatkan ketidaktenangan, selain itu atlit terlihat menggigit-gigit kuku
jari, menggigit-gigit bagian dalam pipi, jalan mondar-mandir dan beberapa atlit
terlihat lebih banyak merokok. Selain itu, beberapa tanda yang dirasakan atlit
misalnya, kepala terasa pusing, leher dan tengkuk terasa sakit, punggung sakit,
sakit perut, merasa sembelit atau sukar kebelakang, merasa capek atau sukar
tidur (insomnia), keringat yang keluar dirasa berlebihan, sangat pendiam atau
mungkin banyak bicara.
Lapangan olahraga
senantiasa penuh dengan Anxiety dan konflik-konflik, penuh dengan
ketakutan-ketakutan dan bentrokan-bentrokan mental, jarang sekali seorang
pelatih merasa pasti bahwa timnya sudah 100% kuat mental maupun fisiknya.
Jarang pula ada seorang atlit, meski dia seorang juara sekalipun, yang dapat
mengontrol dan menyesuaikan segala emosinya, Anxietiesnya dan
konflik-konfliknya dalam menghadapi sebuah pertandingan, apalagi pertandingan
tersebut adalah pertandingan yang menentukan. Dalam menghadapi pertandingan
kecemasan yang dialami atlit umumya berubah-ubah yaitu sebelum, selama dan
mendekati akhir pertandingan.
Sebelum pertandingan,
Anxiety naik disebabkan oleh bayangan akan beratnya tugas atau pertandingan
yang akan datang. Selama pertandingan berlangsung, tingkat Anxiety biasanya
menurun. Hal ini disebabkan karena atlit sudah mulai mengadaptasikan dirinya
dengan situasi pertandingan sehingga keadaan sudah dapat dikuasainya. Mendekati
akhir pertandingan, tingkat Anxiety biasanya mulai naik kembali, terytama
apabila skor pertaandingan sama atau hanya berbeda sedikit saja.
Stress
adalah proses dimana seorang individu merasa menerima tekanan dan meresponnya
dengan serangkaian perubahan-perubahan fisik dan psikis termasuk meningkatkan
arousal dan merasakan cemas. Jadi, stress mempunyai dimensi yang lebih luas
dibandingkan arousal dan anxiety. Kita merasakan stres ketika berhadapan dengan
tuntutan yang sulit untuk kita penuhi dan akan berdampak serius jika tidak
dilaksanakan. Jika stres berlangsung lama dan dengan kuantitas serta kualitas
yang tinggi, maka akan menjadi gangguan emosi yang berbahaya.
Jenis –
Jenis Kecemasan dan Sumber Kecemasan Dalam Dunia Olahraga
Spielberger (1966, dalam Jarvis, 1999) membagi kecemasan
menjadi 2, yaitu State Anxiety dan Trait anxiety:
a. State anxiety atau biasa disebut sebagai A-state.
A-state ini adalah kondisi cemas berdasarkan situasi dan peristiwa yang
dihadapi. Artinya situasi dan kondisi lingkunganlah yang menyebabkan tinggi
rendahnya kecemasan yang dihadapi. Sebagai contoh, seorang atlet akan merasa
sangat tegang dalam sebuah perebutan gelar juara dunia. Sebaliknya, tidak
begitu tegang saat menjalani pertandingan dalam kejuaraan nasional.
b. Trait anxiety atau biasa disebut dengan A-trait. Trait
anxiety adalah level kecemasan yang secara alamiah dimiliki oleh seseorang.
Masing-masing orang mempunyai potensi kecemasan yang berbeda-beda. Dalam
A-trait ini tingkat kecemasan yang menjadi bagian dari kepribadian
masing-masing atlet. Ada atlet yang mempunyai kepribadian yang peragu begitupun
sebaliknya.
Selain pembedaan di atas, kecemasan bisa dibedakan menjadi
dua lagi, yakni kecemasan somatis (somatic anxiety) dan kecemasan kognitif
(cognitive anxiety).
a. Kecemasan somatik (somatic anxiety) adalah perubahan-perubahan fisiologis yang berkaitan dengan munculnya rasa cemas. Somatic anxiety ini merupakan tanda-tanda fisik saat seseorang mengalami kecemasan. Tanda-tanda tersebut antara lain: Perut mual, keringat dingin, kepala terasa berat, muntah-muntah, pupil mata melebar, otot menegang dan sebagainya. Untuk mengukur kecemasan jenis ini dibutuhkan pemahaman yang mendalam dari atlet terhadap kondisi tubuhnya. Atlet harus selalu sadar dengan kondisi fisik yang mereka rasakan.
a. Kecemasan somatik (somatic anxiety) adalah perubahan-perubahan fisiologis yang berkaitan dengan munculnya rasa cemas. Somatic anxiety ini merupakan tanda-tanda fisik saat seseorang mengalami kecemasan. Tanda-tanda tersebut antara lain: Perut mual, keringat dingin, kepala terasa berat, muntah-muntah, pupil mata melebar, otot menegang dan sebagainya. Untuk mengukur kecemasan jenis ini dibutuhkan pemahaman yang mendalam dari atlet terhadap kondisi tubuhnya. Atlet harus selalu sadar dengan kondisi fisik yang mereka rasakan.
b.
Kecemasan Kognitif (cognitive anxiety) adalah pikiran-pikiran cemas yang muncul
bersamaan dengan kecemasan somatis. Pikiran-pikiran cemas tersebut antara lain:
kuatir, ragu-ragu, bayangan kekalahan atau perasaan malu. Pikiran-pikiran
tersebut yang membuat seseorang selalu merasa dirinya cemas. Kedua jenis rasa
cemas tersebut terjadi secara bersamaan, artinya ketika seorang atlet mempunyai
keragu-raguan saat akan bertanding, maka dalam waktu yang bersamaan dia akan
mengalami kecemasan somatis, yakni dengan adanya perubahan-perubahan
fisiologis.
untuk mengetahui sumber
kcemasan itu muncul pada diri seseorang, penulis membagi duaa sumber terjadinya
kecemasan pada diri atlit yaitu sumber yang bersifat situsional dan sumber yang
bersifat personal. Sumber situsional yang mengakibatkan stress dan kecemasan
adalah;
a) Pertandingan yang
penting,
b) tidak menentunya hasil
pertandingan. Kecemasan juga akan muncul yang bersumber dari dalam dan luar
diri atlit.
Sumber dari dalam berarti
kecemasan tersebut muncul dari dalam diri atlit itu sendiri. Contoh kecemasan
yang bersumber dari dalam diri atlit, yaitu:
1) atlit sangat
mengandalkan kemampuan dirinya,
2) atlit merasa bermain
baik sekali atau sebaliknya,
3) ada pikiran negatif
karena dicemooh atau dimarahi,
4) adanya pikiran puas
diri.
Sedangkan sumber dari luar, berarti sumber kecemasan itu datang dari
luar diri atlit. Beberapa contoh kecemasan yang datang dari luar, yaitu:
1) rangsangan yang
membingungkan,
2) pengaruh masa,
3) saingan yang bukan
tandingannya,
4) kehadiran atau
ketidakhadiran pelatih. Selain dua sumber ketegangan tersebutsumber kecemasan
lain yang dapat muncul pada diri atlit yaitu faktor lingkungan seperti keadaan
lapangan pertandingan, tempat bertanding, cuaca, ventilasi, permukaan lapangan
dan sebagainya.
Gejala Awal
Dan Proses Terjadinya Kecemasan Dalam Dunia Olahraga
Pada umumnya atlit yang mengalami kecemasan ditandai dengan
gejala-gejala yang biasanya diikuti dengan timbulnya ketegangan atau stress
pada diri seseorang, indikator yang dapat dijadikan atlit mengalami kecemasan
dapat dilihat dari perubahan secarafisik maupun secara psikis.
Gejala yang nampak pada fisik seperti peningkatan adrenalin yaitu
meningkatnya denyut nadi, meningkatnya keringat, kulit terasa dingin, sakit
perut, nafas cepat, otot tegang, mulut kering, dan ada keinginan untuk terus
buang air kecil.
Gejala secara psikis yaitu seperti cemas/khawatir, bingung atau tidak
mampu konsentrasi atau sulit dalam membuat keputusan, berpikir aneh, pikiran
diluar kendali atau mudah gembira yang meluap-luap. Gejala yang nampak pada
atlit yang mengalami kecemasan;
1) gejala fisik
a) adanya perubahan yang dramatis pada tingkah laku, gelisah atau tidak
tenang dan sulit tidur,
b) terjadinya peregangan otot-otot pundak, leher, perut, terlebih lagi
pada otot-otot extremitas,
c) terjadinya perubahan irama pernafasan,
d) terjadi kontraksi otot setempat, pada dagu, sekitar mata, dan
rahang.
2). Gejala psikis
a) gangguan pada perhatian dan konsentrasi,
b) perubahan emosi,
c) menurunnya rasa percaya diri,
d) timbulnya obsesi,
e) tidak ada motivasi (Singgih, 1989).
Selain itu, beberapa atlit mengalami kecemasan dapat dilihat
dariperubahan raut muka misalnya menyeringai,dahi berkerut, terlihat serius,
atlit mengatup geraham lebih keras, bahkan menggerak-gerakan tubuh seperti kaki
dan tangan yang dapat memperlihatkan ketidaktenangan, selain itu atlit terlihat
menggigit-gigit kuku jari, menggigit-gigit bagian dalam pipi, jalan
mondar-mandir dan beberapa atlit terlihat lebih banyak merokok. Selain itu,
beberapa tanda yang dirasakan atlit misalnya, kepala terasa pusing, leher dan
tengkuk terasa sakit, punggung sakit, sakit perut, merasa sembelit atau sukar
kebelakang, merasa capek atau sukar tidur (insomnia), keringat yang keluar
dirasa berlebihan, sangat pendiam atau mungkin banyak bicara.
Proses terjadinya
stress dan kecemasan merupakan serangkaian peristiwa. Terjadinya stress dan
keemasan merupakan sebuah subtansi adanya ketidakseimbangan antara tuntutan
fisik, psikologis dan kemampuan merespon. Biasanya kegagalan dalam memenuhi
tuntutan tersebut merupakan rangkaian terjadinya stress. Terdapat model yang
sederhana bahwa proses terjadinya stress terdiri empat tahapan yang saling
berhubungan, yaitu tuntutan lingkungan (emvironmental demand), persepsi pada
tuntutan (perceftion of demand), respon terhadap stress ((stress respon),
akibat dari perilaku (behavior consequens).
Tahap 1: Tuntutan lingkungan: jenis tuntutan pada individu bisa berupa
pisik dan psikologis, contoh siswa harus mnampilkan keterampilan baru pada
cabang olahraga bola voly di depan kelasnya, atau orang tua menekankan atet
untuk
memenangkan pertandingan.
Tahap 2: Persepsi pada tuntutan: pada tahap ini seseorang
mempersepsikan tuntutan pisik dan psikologis. Contohnya Rena senang
diperhatikan didepan kelas sedangkan Maya merasa terancam, Maya merasakan
ketidakseimbangan antara tuntutan pada dirinya untuk memperagakan didepan kelas
dan kemampuannya untuk memenuhi tuntutan itu. Rena tidak merasakan ktidakseimbangan,
atau merasakan hanya tidak mengancam dirinya. Seseorang yang mempunyai Trait
anxiety tinggi akan berpengaruh, yaitu cenderung merasakan situasi yang lebih
(khususnya jika dinilai dalam pertandingan) sebagai ancaman dibanding Trait
anxiety yang rendah. Trait anxiety sangat berpengaruh pada tahap kedua ini.
Tahap 3: Respon terhadap stress: seseorang akan merespon pisik dan
pisikologi untuk merepsesikan situasi. Jika persepsi seseorang tidak seimbang
antara kemampuan dan tuntutan merespon akan menyebabkan perasaan terancam, maka
State anxiety meningkat, menjadi cemas (cognitive state anxiety) aktivasi
pisiologi meningkat (somatic state anxiety). Reaksi lainnya muncul seperti
perubahan konsentrasi, meningkatnya ketegangan otot, dan seiring dengan itu
State anxiety meningkat.
Tahap 4: Akibat perilaku: yaitu perilaku aktual seseorang dibawah
stress. Jika siswa belajar bola voly dapat memenuhi perasaan ketidakseimbangan
antara kemampuan dan tuntutan dan merasakan peningkatan pada State anxiety;
apakah penampilannya memburuk ? atau apakah meningkatnya State anxiety
meningkat pula kehebatannya ? Dengan demikian penampilan siswa akan meningkat.
Upaya Pengendalian dan Solusi Kecemasan Dalam Dunia Olahraga
Dalam upaya pengendalian kecemasan (anxiety) dan stress dalam olahraga
penulis garis bawahi diantaranya: 1. Strategi Relaksasi, 2. Strategi kognitif,
3.teknik-teknik peredaan ketegangan dan mekanisme pertahanan diri.
1. Strategi Relaksasi
Keadaan relaks adalah keadaan saat seorang atlet berada dalam kondisi emosi
yang tenang, yaitu tidak bergelora atau tegang. Keadaan tidak bergelora tidak
berarti merendahnya gairah untuk ben-nain, melainkan dapat diatur atau
dikendalikan pada titik atau daerah Z sesuai dengan hipotesis U-terbalik.
Untuk mencapai keadaan tersebut, diperlukan teknik-teknik tertentu melalui
berbagai prosedur, baik aktif maupun pasif. prosedur aktif artinya kegiatan
dilakukan sendiri secara aktif. Sementara itu, prosedur pasif berarti seseorang
dapat mengendalikan munculnya emosi yang bergelora, atau dikenal sebagai
latihan autogenik.
Dalam perkembangannya, teknik-teknik yang digunakan, baik oleh Jacobsen
maupun Wolpe, dianggap kurang efisien. Oleh karena itu, kemudian bermunculan
model-model relaksasi barn sebagaimana yang dikemukakan oleh Bernstein &
Borkovec (1973) dan Bernstein & Geffen (1984). Dalam perkembangan
selanjutnya, latihan relaksasi progresif digunakan sebagai teknik tersendiri,
tidak lagi sebagai bagian dari pendekatan behavioristik. Awalnya, latihan
relaksasi progresif ini digunakan oleh pasien penderita kecemasan atau
ketegangan yang bersumber pada gejolak emosinya.Latihan relaksasi progresif
juga dapat dilakukan melalui suatu alat yang dikenal dengan sebutan biofeedback
atau EMG (elektromyografi). EMG memiliki fungsi mencatat atau merekam
intensitas ketegangan otot¬otot seseorang, untuk kemudian ditampilkan dalam
bentuk ukuran angka-angka, misalnya +3 atau +10. Dengan menggunakan alat
tersebut, seseorang dapat memantau tingkatan ketegangan sebelum maupun sesudah
dilakukan latihan. Dengan adanya kemampuan untuk memantau perubahan tingkatan
ketegangan pada diri sendiri, maka ketegangan otot-otot dapat diatur sampai
pada keadaan relaks yang dikehendaki. Arti praktisnya adalah, seseorang dapat
mengatur ketegangan-ketegangan ototnya menjadi lebih relaks, sehingga gejolak
emosinya pun menjadi lebih tenang. Apabila penggunaan biofeedback telah
dilakukan berkali-kali, maka relaksasi dapat dilakukan kapan pun dan di mana
pun, tanpa membutuhkan alat biofeed¬back lagi. Oleh karma
itu, para ahli kemudian berupaya keras untuk mencari modifikasi agar latihan
relaksasi progresif dapat dilakukan dalam format yang lebih pendek dan praktis.
Apabila seseorang telah beberapa kali berhasil dalam keadaan relaks, maka
pengelompokan otot dapat diperbesar menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Lengan dan tangan bersama-sama.
2. Semua otot muka.
3. Dada, pundak, punggung bagian atas, perut.
4. Pinggul dan pangkal paha.
5. Kaki dan tapak kaki.
Contoh lain dari modifikasi tersebut adalah teknik pernapasan atau
breathing technique. Teknik ini banyak dilakukan oleh para atlet karma dapat
dilakukan di sembarang tempat, misalnya di pinggir arena pertandingan, saat
menunggu waktu untuk bermain, demikian pula pada saat gejolak emosi sedang
memuncak, misalnya pada malam sebelum pertandingan, atau beberapa jam sebelum
pertandingan.
Menurut
Masters, dan kawan-kawan (1987) (dalam Gunarsa, S.D., 2002), manfaat dari
melakukan latihan relaksasi progresif adalah:
1. Meningkatnya
pemahaman mengenai ketegangan otot. Artinya, ada pemahaman
bahwa gejolak emosi berpengaruh terhadap ketegangan otot dan sebaliknya.
2. Meningkatnya
kemampuan untuk mengendalikan ketegangan otot.
3. Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan
kegiatan kognitif, yaitu meliputi kemampuan pemusatan perhatian terhadap suatu
objek
4. Meningkatnya
kemampuan untuk melakukan kegiatan.
5. Menurunnya
ketegangan otot.
6. Menurunnya gejolak emosi karena pengaruh
perubahan kefaalan.
7. Menurunnya tingkat kecemasan, serta
emosi-emosi negatif lainnya.
8. Menurunnya kekhawatiran dan ketakutan.
Selain latihan relaksasi progresif, dalam melakukan perubahan atau
rnodifikasi suatu perilaku, dikenal pula suatu teknik yang disebut sebagai
systematic desensitization atau teknik pengebalan sistematik. Jika terdapat
suatu keadaan atau objek yang dipersepsikan tidak menguntungkan sehingga
mempengaruhi gejolak emosi secara luar biasa clan ditampilkan dalam emosi
tegang, maka tentu akan berakibat buruk terhadap penampilan. Seorang atlet
dapat Baja merasakan ketakutan-ketakutan tertentu pada saat bertanding, seperti
hal-hal yang berkaitan dengan lawan tandingnya, suhu arena atau cuaca pada
umumnya, angin, sorakan penonton, atau penilaian dari tokoh-tokoh tertentu yang
sedang menyaksikan.
Namun demikian, keadaan-keadaan seperti ini merupakan hal yang mutlak harus
dihadapi. Oleh karena itu, seorang atlet harus mampu menghadapi keadaan-keadaan
yang tidak menyenangkan sebagaimana disebutkan di atas. Kemampuan untuk
menghadapi dan mengatasi tersebut merupakan keterampilan individual dan khusus
yang diajarkan oleh pelatih atau psikolog olahraganya.
Teknik pengebalan sistematik (systematic desensitization) merupakan latihan
bertahap untuk mengurangi kepekaan terhadap suatu rangsang, sehingga terbentuk
habituasi atau pembiasaan. Suatu rangsang yang awalnya menimbulkan gejolak
emosi yang sangat tinggi, melalui latihan sistematik tertentu, lambat-laun
tidak lagi dipersepsikan negatif. Secara bertahap, akan terjadi pengurangan
atau pengenduran reaksi emosi, sehingga gejolak emosi pun menjadi stabil. Jadi,
sumber rangsang tidak diubah atau diganti, melainkan di dalam diri atlet
terjadi perubahan secara sistematik Gejolak emosi yang pada awalnya sangat
tinggi saat menghadapi suatu keadaan, lambat-laun menjadi berkurang. Ini
merupakan prinsip sistematik desensitisasi, atau upaya untuk mengatur
reaksi-reaksi emosi yang bergejolak dalam batas-batas proporsi yang wajar dan
tidak merugikan.
Cara relaksasi lainnya adalah transcendental meditation atau meditasi
transendental. Meditasi transendental merupakan teknik mental yang dapat
dipraktekkan setiap pagi dan malam selama 15 sampai 20 menit, saat seseorang
duduk nyaman dengan mata tertutup sambil memikirkan suatu 'mantera' tertentu.
Setelah 20 menit, ketegangan tubuh akan mengenclor total dan orang yang
bersangkutan akan mengalami kondisi yang segar dan dinamis, percaya diri, serta
siap untuk beraksi. Meditasi transendental dilakukan seseorang dengan
memusatkan perhatian dan berkonsentrasi terhadap suatu objek atau pikiran dan
ke¬giatan tersebut ditahannya untuk beberapa waktu dalam posisi tubuh yang
nyaman, tanpa terganggu atau teralih perhatian dan konsentrasinya. Apabila hal
tersebut dapat dilakukan, maka akan diperoleh keadaan relaks. Selama meditasi,
tubuh akan mencapai tahap sadar sepenuhnya na¬mun tanpa beban pikiran apa pun.
Pada kondisi tersebut, seseorang akan siap menghadapi rangsang apa pun, serta
siap memberikan respons yang sesuai dan optimal.
2. Strategi Kognitif
Strategi kognitif didasari oleh pendekatan kognitif yang menekankan bahwa
pikiran atau proses berpikir merupakan sumber kekuatan yang ada dalam diri
seseorang. Jadi, kesalahan, kegagalan, ataupun kekecewaan, tidak disebabkan
oleh objek dari luar, namun pada hakikatnya bersumber pada inti pikiran atau
proses berpikir seseorang. Misalnya, seorang atlet
bulutangkis tidak dapat menyalahkan shuttle¬cock karena berat atau kecepatannya
berbeda dari biasanya, karena yang menentukan sesuai atau tidaknya caranya
memukul dan kekuatan pukulan adalah proses berpikir atlet tersebut. Jadi, yang
seharusnya diubah adalah pengendali perilaku atlet, dalam hal ini gerakan atau
pukulannya, agar dapat menyesuaikan dengan keadaan khusus. Dari penjelasan ini,
tampak bahwa proses kognitif merupakan sumber dari semua perilaku pada atlet.
Salah satu kegiatan yang mendukung berfungsinya proses kognitif adalah kegiatan pemusatan perhatian yang bersumber pada inti pikiran seseorang. Contohnya, pemikiran sebagai berikut: "Saga memusatkan perhatian terhadap kornitmen saya untuk bermain sesuai dengan apa yang sudah saya latih dan strategi bermain saya." Kegiatan ini merupakan kegiatan menginstruksi diri sendiri (self-instruction), sehingga apa pun yang akan terjadi dalam permainan, atlet akan berpedoman pada proses berpikirnya.
Namun dalam kenyataannya, strategi kognitif seperti ini sangat erat kaitannya dengan status emosi dan berbagai macam pergolakannya. Pergolakan tersebut berasal dari tingkat ketegangan yang dialami oleh atlet, khususnya yang bersumber pada dirinya, yakni trait anxiety.
Salah satu kegiatan yang mendukung berfungsinya proses kognitif adalah kegiatan pemusatan perhatian yang bersumber pada inti pikiran seseorang. Contohnya, pemikiran sebagai berikut: "Saga memusatkan perhatian terhadap kornitmen saya untuk bermain sesuai dengan apa yang sudah saya latih dan strategi bermain saya." Kegiatan ini merupakan kegiatan menginstruksi diri sendiri (self-instruction), sehingga apa pun yang akan terjadi dalam permainan, atlet akan berpedoman pada proses berpikirnya.
Namun dalam kenyataannya, strategi kognitif seperti ini sangat erat kaitannya dengan status emosi dan berbagai macam pergolakannya. Pergolakan tersebut berasal dari tingkat ketegangan yang dialami oleh atlet, khususnya yang bersumber pada dirinya, yakni trait anxiety.
3. Teknik-teknik Peredaan Ketegangan
Hanya mengetahui "apa" atau "the what"saja mengapa
atlet tegang atau takut tanpa mengetahui "the how" atau "bagaimana"
cara penyembuhannya tidaklah banyak man¬faatnya dan tidak akan menolong atlet.
Oleh karena itu, pelatih sebaiknya juga mempersenjatai diri dengan keterampilan
bagaimana cara meredakan ketegangan yang ada pada atlet. Ada beberapa teknik yang
bisa membantu menu¬runkan atau mengurangi ketegangan atlet (desensitizatioll,
techniques). Antara lain:
a. Teknik Jacobson dan Schultz, yaitu dengan mengu¬rangi arti
pentingnya pertandingan dalam benak atlet, atau mengurangi ancaman hukuman
kalau atlet gagal.
b. Teknik Cratty. Dengan teknik ini, mula-mula disusun suatu
urutan (hierarki) anxiety yang dialami atlet, dari Yang paling ditakuti sampai
yang paling kurang ditakuti oleh atlet. Pada permulaan, atlet dihadapkan pada
situ¬asi yang paling sedikit membangkitkan anxiety. Setelah atlet terbiasa dan
tidak takut lagi dengan situasi terse-but, dia kemudian dilibatkan dalam
situasi takut yang agak lebih berat. Demikian seterusnya.
c. Teknik progressive muscle relaxation
dari Jacobson, yaitu latihan memaksa otot-otot yang tegang dijadikan relaks.
d. Teknik autogenic relaxation, yaitu toknik
relaksasi Yang menekankan pada sugesti diri (self-suggestion).
e. Latihan pernapasan dalam (deep
breathing).
f. Meditasi.
g. Berpikir positif.
h. Visualisasi.
i. Latihan simulasi: pada waktu
latihan, berlatihlah dengan menciptakan situasi seakan-akan sedang betul-betul
bertanding, dan usahakan untuk tampil sebaik-baiknya. Lakukan latihan dengan
intensitas yang tinggi seperti dalam pertandingan sebetulnya. Biarkan atlet
mengalami stres fisik maupun mental.
Dengan berulang kali berlatih dengan stres yang tinggi, diharapkan lama-kelamaan ketegangan atlet akan berkurang pada waktu menghadapi stres.
Dengan berulang kali berlatih dengan stres yang tinggi, diharapkan lama-kelamaan ketegangan atlet akan berkurang pada waktu menghadapi stres.
4. Mehanisme pertahanan diri
Anxiety, kekhawatiran, dan ketakutan yang berkecamuk dalam diri atlet
adalah gejala yang umum dalam olahraga. Anxiety dan ketakutan adalah reaksi
terhadap perasaan "khawatir akan terancam pribadinya". Karena anxiety
yang dialami atlet adalah sesuatu keadaan yang sangat tidal, enak dan selamanya
akan berkecamuk dalam kehidupan seorang atlet, maka dibutuhkan suatu mekanisme
di dalam kepribadiannya untuk inenolongitya inengotasi atau membaskan dirinya
dari anxiety tersebut. Mekanisme ini biasanya disebut security operation atau
defense inechanisin. Jadi mekanisme ini berfungsi sebagai alat agar
kepribadiannya tidak merasa terancam. Sering kali mekanisme ini bekerja
demikian efektif sehingga atlet benar-benar terlindung dari perasaan cemas
tersebut.
Tampaknya di semua cabang olahraga sering terjadi mekanisme pertahanan
demikian, bukan hanya oleh atlet, akan tetapi juga oleh pelatih, tim manajer,
pengurus dan lain-lain. Memang mungkin saja alasan yang dikemukakan atlet,
pelatih, Tim Manajer, Pengurus, KONI, dan lain-lain memang betul karena
lapangan licin, bola tidak bundar, banyak angin, penonton ribut. Akan tetapi
kebanyakan alasannya tidak rasional dan hanya merupakan manifestasi dari
perasaan kecewa karena mengalami kegagalan, serta kedok agar terhindar dari
perasaan cemas dan takut akan dikritik, di-cemooh, dikecam oleh masyarakat, dan
agar mereka tidak disalahkan oleh masyarakat atas kekalahan atau kegagalan
mereka. Karena itu penyebab kegagalannya dilimpahkan kepada orang atau benda
lain di luar dirinya.
Sebagai pelatih, kita harus mendidik dan melatih
para atlet agar tidak membiasakan diri menggunakan defense inechanisin yang
tidak wajar sebagaimana contoh-contoh tersebut di atas. Sebab-sebab dari setiap
kegagalan haruslah didiskusikan, dievaluasi, dianalisis secara rasional,
intelektual dan inteligen. Pelatih harus mengajarkan dan mendidik atlet agar
tidak meremehkan kegagalan, dan menilai setiap kegagalan dengan penuh pemahaman
dan pengertian yang wajar. Dengan demikian dapatlah diharapkan pula bahwa
maturitas mental para atlet sedikit demi sedikit dapat dikembangkan.
12 comments:
wah lengkap banget ya kang infonya, ternyata gini yaa penjelasannya :D Thanks gan nfonyaa
iya gan.. sama sama.. semoga bermanfaat ya gan..
Iya, itu terjadi sebelum perbandingkan, tapi setelah didalam pertamdingan nervous otomatis Berkurang bahkan hilang sama sekali. Bahkan jadi ganas. (Pengalaman pribadi)
hahahaa bener banget gan... mengontrol diri adalah solusinya
keren bgt postingannya. template jga keren tuhh back ya http://unclemandra.blogspot.co.id/2016/10/ekspresi-anak-muda-indonesia.html
thanks sudah mampir gan
siap gan....
info yg bermanfaat gan ...thanks share nya
iya gan sama sama- alhamduillah
iya gan sama sama- alhamduillah
cara ampuh buat ngilangin kecemasan berlebih gi mna ya
Cocok banget sama ane nihhh
nice post gan
Post a Comment